“Kalau negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara”
-Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999, Jakarta-
Image : Aman |
Kutipan di atas adalah sebuah pernyataan sikap yang tegas oleh perwakilan masyarakat adat pada bulan Maret 1999 di Jakarta dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I.[1] Pengakuan atas eksistensi masyarakat adat di Indonesia memang mempunyai masalah serius terutama pasca runtuhnya Orde Baru. Berakhirnya masa Orde Baru membawa dua perubahan mendasar dalam dikursus politik di Indonesia. Pertama, hancurnya pandangan bahwa pemusatan kekuatan politik adalah satu-satunya cara yang dianggap tepat untuk mengelola dan mengawasi keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia.Kedua, ada keinginan untuk memperluas pandangan diskursus tentang hak, karena dulu pengertian hak merupakan wilayah penafsiran yang dikuasai oleh negara. Bagi negara Indonesia, kedua diskursus tersebut membawa perdebatan terkait dengan kewarganegaraan dan kelompok minoritas, khususnya masyarakat adat.
Pada rezim Orde Baru, negara memegang peranan yang sangat kuat dalam penafsiran tentang hak kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan diatur secara ketat dengan menggunakan perangkat peraturan perundang-undangan yang menghapuskan perbedaan etnisitas, tapi pada sisi lain memperkuat perbedaan agama. Namun demikian, persoalan hak kewarganegaraan tidak otomatis sejalan dengan hak-hak komunal.[2] Keanggotaan dalam sebuah komunitas adat dimungkinkan oleh pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat tersebut melalui perangkat undang-undang. Oleh karena itu, keanggotaan dalam sebuah komunitas memiliki implikasi legal karena ini terkait dengan cara negara mengakui keberadaan komunitas dan cara komunitas tersebut memperoleh hak untuk akses sumber daya politik dan nilai yang ditawarkan oleh negara.
Selama ini, minat dan kepentingan politik negara yang dijalankan melalui ranah hukum hanya menekankan pentingnya status kewarganegaraan yang formal.[3] Sebagai akibatnya, konsep sosial tentang kewarganegaraan harus sejalan dengan identitas nasional. Hal tersebut berdampak terhadap konsep identitas nasional yang harus dilepaskan dari identifikasi terhadap satu kelompok adat atau agama tertentu. Kepentingan politik negara yang berbentuk negara kesatuan, beranggapan bahwa identifikasi terhadap semua hal yang bersifat adat menjadi tidak penting.
Masyarakat Adat dan Diversitas Kultural di Indonesia
Fokus negara Orde Baru yang mementingkan stabilitas politik dan kesatuan nasional melalui kontrol terpusat telah memberi penekanan yang berlebihan pada kesatuan yang disamakan dengan homogenitas, kesederajatan dengan keseragaman, dan keragaman dengan perbedaan.[4] Padahal, mengutip istilah Bhikhu Parekh, Indonesia adalah sebuah negara dengan keanekaragaman komunal yang memiliki beberapa komunitas yang sadar diri dan lebih kurang terorganisasi dengan baik, yang menjalankan dan hidup dengan sistem keyakinan dan praktek mereka yang berlainan.[5] Komunitas-komunitas ini meliputi kelompok-kelompok minoritas agama dan kelompok-kelompok kultural yang terkonsentrasi secara teritorial seperti masyarakat-masyarakat adat.
Pendefinisian konsep masyarakat adat di Indonesia pun mempunyai istilah yang beragam, terutama berkaitan dengan peristilahan hukum. Definisi mengenai “tribal peoples” dalam Konvensi 169 ILO relatif lebih dekat kepada realitas hukum dan sosial masyarakat adat di Indonesia.[6] Akan tetapi, para sejumlah anggota masyarakat adat menolak istilah “tribal peoples” karena memandang adanya konotasi negatif. Jadi mereka telah menetapkan satu istilah, yakni “indigenous peoples” sebagai padanan dari masyarakat adat.[7]
Terkait pendefinisan masyarakat adat tersebut, Kingsbury memberikan sejumlah ciri untuk mengenali kelompok-kelompok indigenous people dengan sejumlah karakteristik pokok, yaitu: (1) mengidentifikasi dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda; (2) pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi; (3) memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya; dan (4) berkeinginan mempertahankan ideologi yang berbeda.[8] Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Sandra Moniaga, masyarakat adat adalah keturunan dari orang yang telah menghuni sebuah wilayah tertentu, sebelum wilayah itu diserang, ditaklukkan, atau dijajah oleh satu kekuatan asing atau masyarakat lain.[9]Sedangkan, masyarakat adat menurut pertemuan perkumpulan adat dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tana Toraja pada tahun 1993 dirumuskan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan wilayah sendiri.[10] Dengan demikian, masyarakat adat dapat dikatakan sebagai sebuah kelompok yang berbeda dengan masyarakat dominan dan hal tersebut membuat mereka berpotensi mengalami kerugian dalam hal pemenuhan hak-hak komunal mereka atas nama adat oleh negara.
Oleh karena setiap masyarakat adat membawa satu kebudayaan sendiri, maka Indonesia menjadi sebuah negara yang multikultural dengan perbedaan budaya yang harus dilestarikan. Berbeda dengan zaman Orde Baru yang menekankan homogenisasi dan membatasi kebudayaan berdasarkan wilayah administratif, kebudayaan harus dilestarikan karena setiap kebudayaan melekat kuat dengan kehidupan kelompok masyarakat tertentu dan memperkaya dunia, menghancurkan atau melanggar integritasnya merupakan sebuah tindakan asusila.[11]
Pengakuan Negara Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat
Pengakuan negara terhadap hak-hak komunal masyarakat adat tidak tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan konflik antara negara dengan masyarakat adat. Konflik berakar pada kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, terutama yang menyangkut sumber penghidupan mereka, yaitu tanah dan sumber daya alam. Permasalahan ini dipicu oleh inkonsistensi beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak mengatur secara jelas mengenai masyarakat adat dan berdampak mengambil hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 yang diganti dengan Undang-undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tidak mengakui lembaga masyarakat adat sebagai entitas yang sah, yang mampu memegang hak-hak atas sumber daya hutan dan tanah. Hak-hak ulayat adat pun tidak diakui sedangkan pada saat yang bersamaan, undang-undang tersebut mengakui berbagai macam hak yang sah dalam negara. Pengaturan semacam itu mencerminkan penyangkalan atas hak-hak komunal mereka atas hak ulayat, salah satu dasar dari adat. Undang-undang ini dianggap sebagai bentuk dari kekuasaan yang digunakan negara untuk mengambil hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Selain mengenai sumber daya alam dan tanah, pemaksaan sistem yang seragam dalam pemerintahan lokal yang didasarkan pada desa administratif juga memicu perlawanan dari masyarakat adat. Dasar dari penyeragaman ini ditetapkan dalam dua peraturan, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem yang ada dalam peraturan tersebut telah memecah komunitas lokal dan meleburkannya ke dalam unit baru yang tidak punya kesamaan adat. Desa tidak lagi diatur secara adat yang berdampak hilangnya lembaga-lembaga adat. Kekuasaan masyarakat adat untuk mengatur diri mereka dan lingkungan mereka berdasarkan adat pun dipaksakan hilang.
Konsep Kewarganegaran Multikultural Sebagai Jaminan Hak-Hak Masyarakat Adat
Dalam usaha untuk mewujudkan prinsip persamaan, keadilan, dan keterwakilan, teori kewarganegaraan multikultural Kymlicka membedakan hak-hak minoritas bagi kelompok etnis, yaitu hak-hak pemerintahan sendiri, hak-hak polietnis, dan hak-hak perwakilan khusus.[12] Ketiga bentuk kewargaan kelompok yang dibedakan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan eksternal.[13] Caranya adalah, setiap bentuk membantu melindungi minoritas dari kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih luas, walau masing-masing menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda dalam cara yang berbeda, yaitu:[14]
1. Hak perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik masyarakat yang lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa atau etnis akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh negeri;
2. Hak atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke unit politik yang lebih kecil sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan dalam pemilihan atau dalam tawar-menawar oleh mayoritas berkenaan dengan keputusan yang sangat penting bagi kebudayaannya;
3. Hak polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya yang khas, yang mungkin tidak didukung secara layak melalui pasar atau yang dirugikan oleh perundangan yang ada.
Melalui kerangka teori Kymlicka, jaminan pengakuan terhadap masyarakat adat secara konkrit direalisasikan melalui pemenuhan hak-hak tersebut. Kymlicka juga menegaskan bahwa dalam satu negara multikultural, tuntutan-tuntutan dari masyarakat adat hendaknya dipandang sebagai sebuah keinginan untuk berintegrasi dengan kelompok mayoritas yang lebih besar. Hak-hak khusus bagi kelompok masyarakat adat diperlukan untuk memberi mereka satu jalan kesetaraan agar bisa beradaptasi dan mempunyai kesempatan untuk hidup berdampingan dengan kelompok mayoritas tanpa merasa tersisihkan.
Konsep kewarganegaraan multikultural diperlukan tidak hanya sebagai jaminan kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat adat, tetapi juga sebagai pelindung hak yang dipunyai masyarakat adat secara komunal maupun individual. Hak-hak ini diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi kesewenang-wenangan negara maupun pihak lain dalam mengambil tanah adat untuk kepentingan penambangan, investasi, maupun hal-hal lainnya. Pada sisi lain, apabila negara menjalankan hak ini seluruhnya, maka otomatis tercipta pengakuan seutuhnya atas keberadaan masyarakat adat.
Pada akhirnya, hak-hak komunal yang dimiliki masyarakat adat akan memberikan mereka kewenangan untuk menjaga wilayah dan budayanya dari intervensi pihak luar. Kewenangan ini dapat diterapkan dengan menyerupai sebuah sistem seperti millet di Turki, wilayah reservasi Indian di Amerika, atau lainnya yang akan memberikan masyarakat adat kewenangan untuk menyetujui atau menolak rencana negara yang akan memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan adat mereka, entah dalam hal wilayah atau budaya. Lebih jauh lagi, pemberian hak-hak komunal ini juga akan memberikan satu kepastian hukum bagi mereka untuk mempertahankan akses kepada sumber-sumber penghidupan mereka, seperti hutan, pegunungan, dan sumber mata air.
[1] Sandra Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat: Sebuah Perjalanan Panjang dan Membingungkan, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (ed.), 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 301
[2] Fadjar Ibnu Thufail dan Martin Ramstedt, Agama, Diskursus Hak, dan Politik Identitas Pasca Orde-Baru, dalam Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail (ed.), 2011, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru, Grasindo, Jakarta, hlm. 5
[4] Hikmat Budiman, E Pluribus Unum dan Demokrasi dalam Hikmat Budiman (ed.), 2009, Hak Minoritas: Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturakisme, The Interseksi Foundation, Jakarta, hlm. 24
[5] Bhikhu Parekh, 2008, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16
[8] Arianto Sangaji, Kritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (ed.), 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 348
[12] Nuri Soeseno, 2010, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, Departemen Ilmu Politik FISIP-UI, Jakarta, hlm. 31
Dilema Masyarakat Adat dan Kewarganegaraan
Reviewed by DESTANA
on
12.18
Rating:
Tidak ada komentar: