Gusti Pengeran, Raja Alam Semesta dengan tanganNya yang cekatan telah mencipta makhluk paling sempurna; mereka dibekali dengan intelektual (kecerdasan), emosional (keinginan), dan spiritual. Lebih dari itu, mereka diwarisi dengan segala sifat-sifat Sang Tuan, maka mereka pun menjadi penguasa atas segala ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang melata di bumi. Mereka itulah makhluk yang bernama ‘manusia’
.
Begitulah kita, yang dicipta menurut rupa dan gambarNya, agar menjadi wakilNya di bumi, untuk mengolah dan memakmurkan bumi sebagai surga. Tugas ini tidak akan pernah terwujud, kecuali manusia hidup terorganisir secara rapi dalam suatu pemerintahan yang solid; para penguasa menyadari bahwa tugas dan kedudukannya hanyalah amanat dari Tuan Raja Alam Semesta untuk mengembalakan ummatNya, sementara rakyat menyadari kedudukan pemerintah sebagai wakilNya yang harus ditaati; sehingga baik pemerintah maupun rakyat saling bahu membahu menata surga, mewujudkan kehendak Tuan Raja di muka bumi.
Kesadaran seperti inilah yang menggerakkan bangsa kita, penduduk Nuswatara untuk bangkit menata pemerintahan mandiri berupa kerajaan atau kesultanan—sebagai sarana mewujudkan surga di bumi—dari masa ke masa, sejak Kutai, Tarumanegara, Kalingga, Sriwijaya, Samudra Pasai, Majapahit, Malaka, hingga Gowa Tallo dan Mataram.
Sedari dulu, bangsa Nuswantara dikenal saleh dan takut akan Tuan Raja. Sekalipun mereka sempat tersesat dan mendurhakai Tuan Raja, mereka segera sadar setelah mendapat peringatan. Maka tidak mengherankan jika berkali-kali Nuswantara ini diberkahi di berbagai zaman perjalanan kehidupan manusia. Mereka tampil dalam percaturan politik internasional yang posisinya diperhitungkan, dihormati dan disegani baik di darat terutama di laut.
Sultan Prabu Jayabaya mengatakan: “cakra manggilingan, jaman kuwi owah ginsir” yang artinya roda selalu berputar dan zaman itu selalu berganti. Hukum alam yang dititeni oleh raja-raja nuswantara memang telah berkali-kali ditemui.
Ketika mereka meluruskan kesalehtaatan hanya kepada Tuan Raja Alam Semesta, maka mereka berjaya di antara bangsa-bangsa; mereka menjadi bangsa yang meredeka di bumi mereka sendiri, memilki sumber daya alam yang kaya raya dan kehidupan yang damai nan sejahtera; semua orang merasakan keadilan dan kedamian, sebagaimana yang terjadi di Kerajaan Kalingga, terutama pada zaman kepemimpinan Ratu Sima.
Sebaliknya, ketika bangsa Nuswantara ini meninggalkan ketaatan pada Titah (Hukum) Tuan Raja Alam Semesta, maka seketika kejayaan itu dicabut dari mereka. Mereka dihancurluluhlantakkan oleh Tuan Raja, hingga tiada yang tersisa; bahkan mereka kemudian diserahkan kepada penjajahan bangsa-bangsa. Selama itu mereka mengalami penderitaan yang tiada berkesudahan.
Trauma penjajahan Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda masih tergambar jelas dalam pikiran, terutama bagi mereka yang peduli dengan nasib bangsa Nuswantara ini. Wajar saja, karena luka penjajahan itu sangat menyakitkan; bahkan hampir merenggut jatidiri Nuswantara.
Kini Nuswantara telah merdeka dari penjajahan kolonial, namun aneh karena berkah Tuan Raja belum bisa dirasakan manisnya; kemiskinan, kebodohan, kejahatan, kezaliman masih merajalela. Bahkan kita menjadi babu di rumah sendiri; bagaimana mungkin bagi bangsa yang disebut merdeka, penduduknya menjadi buruh dari orang-orang asing yang datang mencari uang.
Memang hari penjajahan ‘halus’ masih melingkupi Bangsa Nuswantara, namun harapan bersinar terang dalam benak mereka peduli dengan bangsa ini, terutama yang mendalam pengetahuannya, karena zaman kuwi owah gingsir.
Surga atau surgaloka, dalam literatur sansekerta merujuk kepada satu tempat indah, damai dan sejahtera atau menurut Prabu Jayabaya diistilahkan negeri gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Owah Gingsir Nuswantara
Reviewed by DESTANA
on
09.19
Rating:
Tidak ada komentar: